Selasa, 06 Januari 2015
Senin, 22 September 2014
Pancasila sebagai sumber nilai & paradigma pembangunan
By Unknown at 04.23
No comments
Pembangunan
Pengertian
Nilai pancasila
Dalam pandangan filsafat, nilai (value : Inggris)
sering dihubungkan dengan masalah kebaikan. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai,
apabila sesuatu itu berguna, benar (nilai kebenaran), indah
(nilai estetika), baik (nilai moral), religius (nilai religi), dan
sebagainya. Nilai itu ideal, bersifat ide. Karena itu, nilai adalah sesuatu
yang abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indera. Yang dapat ditangkap
adalah barang atau laku perbuatan yang mengandung nilai itu.
Pancasila Sebagai Sumber Nilai
Pancasila
memuat nilai – nilai luhur untuk dapat menjadi dasar Negara. Ada 3 nilai yang terdapat dalam pancasila :
·
Nilai
Dasar adalah asas-asas yang berasal dari nilai budaya bangsa Indonesia yang
bersifat abstrak dan umum, relatif tidak berubah namun maknanya selalu dapat
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Artinya nilai dasar itu bisa terus menerus ditafsirkan ulang baik makna
maupun implikasinya. Melalui penafsiran
ulang itulah akan didapat nilai baru yang lebih operasional sesuai dengan
tantangan zaman. Adapun nilai dasar yang
terkandung dalam Pancasila adalah Ketuhanan, kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan
(musyawarah-mufakat), dan Keadilan.
·
Nilai
Instrumental, yaitu penjabaran dari
nilai dasar yang berbentuk norma sosial dan norma hukum. Seperti UUD 1945, Tap MPR, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, UU No. 2 Tahun
1999 tentang partai politik, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dll.
·
Nilai Praksis, adalah nilai
yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari yang menandakan
apakah nilai dasar atau instrumental masih hidup di tengah masyarakat,
berbangsa dan bernegara. Contoh nilai
praksis seperti saling menghormati, toleransi, kerja sama, kerukunan, bergotong royong, menghargai, dll.
NILAI-NILAI
YANG TERKANDUNG DALAM PANCASILA DAN REALISASINYA
a.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
terkandung
nilai religius antara lain:
ü Keyakinan
terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa beserta sifat-sifatnya yang maha sempurna.
ü Ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menjalankan semua perintahNya dan menjauhi
laranganNya.
ü Nilai-nilai
Sila I meliputi dan menjiwai sila II, III, IV, dan V.
b.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
terkandung
nilai-nilai antara lain:
ü Pengakuan
terhadap adanya martabat manusia.
ü Pengertian
manusia yang beradab terhadap sesama manusia.
ü Pengertian
manusia yang beradab yang memiliki daya, cipta rasa, karsa dan keyakinan,
sehingga jelas perbedaan antara manusia dan hewan.
ü Nilai
Sila II diliputi dan dijiwai Sila I, meliputi dan menjiwai Sila III, IV, dan V.
c.
Sila Persatuan Indonesia
terkandung
nilai persatuan antara lain:
ü Persatuan
Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia.
ü Bangsa
Indonesia adalah persatuan Suku-suku yang meliputi wilayah Indonesia.
ü Pengakuan
terhadap ke Bhinneka Tunggal Ikaan, suku bangsa dan kebudayaan bangsa
(berbeda-beda namun satu jiwa) yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan
bangsa.
ü Nilai-nilai
Sila III diliputi dan dijiwai Sila I, II meliputi dan menjiwai sila IV dan V.
d.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan terkandung nilai-nilai
antara lain :
ü Kedaulatan
adalah di tangan rakyat.
ü Pimpinan
Kerakyatan adalah hikmah kebijaksanaan yang dilandasi akal sehat.
ü Manusia
Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
ü Musyawarah
untuk mufakat dicapai dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat.
ü Nilai
Sila IV diliputi dan dijiwai Sila I, II, III meliputi dan menjiwai sila V.
e.
Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia terkandung nilai keadilan Sosial antara lain:
ü Perwujudan
Keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan meliputi seluruh
rakyat Indonesia.
ü Keadilan
dalam kehidupan sosial terutama meliputi bidang-bidang idiologi, politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan dan pertahanan keamanan nasional.
ü Cita-cita
masyarakat Indonesia adil makmur, materiil dan spiritual yang merata bagi
seluruh rakyat Indonesia.
ü Keseimbangan
antara hak dan kewajiban, menghormati hak orang lain.
ü Cinta
akan kemajuan dan pembangunan.
ü Nilai
sila V diliputi dan dijiwai Sila I, II, III, IV dan V.
Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara
Nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara menjadikan setiap tingkah laku para
penyelenggara negara dan pelaksana pemerintahan harus selalu berpedoman pada
Pancasila. Pancasila sebagai sumber nilai menunjukkan identitas bangsa
Indonesia yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, hal ini menandakan
bahwa dengan Pancasilamenolak segala penindasan dan penjajahan.
Pancasila
juga sebagai paradigm bangunan, artinya sebagai kerangka pikir, sumber nilai,
orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan
perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu.
Pancasila
mengarahkan pembangunan agar selalu dilaksanakan demi kesejahteraan umat
manusia dengan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa dan keluhuran bangsa.
Pembangunan di segala bidang selalu mendasar pada nilai-nilai Pancasila.
Di
bidang politik misalnya, Pancasila menjadi landasan bagi pembangunan politik,
dan dalam prakteknya menghindarkan sikap tak bermoral dan tak bermartabat.
Di
bidang Hukum demikian halnya. Pancasila sebagai paradigm pembangunan hukum
ditunjukkan dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan nasional yang
harus selalu memperhatikan dan menampung aspirasi rakyat. Nilai-nilai Pancasila
menjadi landasan dalam pembentukan hukum yang aspiratif. Dalam pembaharuan
hukum, Pancasila sebagai cita-cita hukum yang berkedudukan sebagai peraturan
yang paling mendasar (staatsfundamentalnorm) di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pancasila sebagai acuan dalam etika penegakan hukum yang berkeadilan
yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan
keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum
dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan.
Di
bidang Sosial Budaya, Pancasila merupakan sumber normative dalam pengembangan
aspek sosial budaya yang mendasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, ketuhanan,
dan keberadaban.
Nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi
Nilai-nilai
Pancasila yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan. Ini merupakan nilai dasar bagi
kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai-nilai Pancasila
tergolong nilai kerokhanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya
secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran (kenyataan),
estetis, estis maupun religius.
Nilai-nilai
Pancasila bersifat objektif dan subjektif, artinya hakikat nilai-nilai
Pancasila bersifat universal (berlaku di manapun), sehingga dapat diterapkan di
negara lain.
Nilai-nilai Pancasila bersifat
objektif, maksudnya:
Rumusan
dari Pancasila itu sendiri memiliki makna yang terdalam, menunjukan adanya
sifat umum Universal dan abstrak.
Inti
dari nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa
Indonesia
Pancasila
dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia.
Sedangkan
nilai-nilai Pancasila bersifat subjektif, bahwa keberadaan nilai-nilai
Pancasila itu terlekat pada bangsa Indonesia sendiri, karena:
v Nilai-nilai Pancasila timbul dari
bangsa Indonesia
v Niali-nilai Pancasila merupakan
pandangan hidup bangsa Indonesia
v Nilai-nilai Pancasila terkandung
nilai kerokhanian yang sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia
Nilai-nilai
Pancasila sebagai sumber nilai bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara, maksudnya sumber acuan dalam bertingkah laku
dan bertindak dalam menentukan dan menyusun tata aturan hidup berbangsa dan
bernegara.
Nilai-nilai
Pancasila merupakan nilai-nilai yang digali, tumbuh dan berkembang dari budaya
bangsa Indonesia, sehingga menjadi ideologi yang tidak diciptakan oleh bangsa
lain.
Menjadikan Pancasila sebagai
ideology juga merupakan sumber nilai, sehingga Pancasila merupakan asas
kerokhanian bagi tertib hokum Indonesia, dan meliputi suasana kebatinan
(Geistlichenhintergrund) dari UUD 1945 serta mewujudkan cita-cita hokum bagi
hokum dasar negara.
Pancasila
mengharuskan UUD mengandung isi yanag mewajibkan pemerintah untuk memelihara
serta menjaga budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang luhur.
NILAI - NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PANCASILA
- Nilai Ketuhanan
Nilai ketuhanan Yang Maha Esa
Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan
sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia
merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga
memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati
kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif
antarumat beragama.
- Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral
dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu
hal sebagaimana mestinya.
- Nilai Persatuan
Nilai persatuan indonesia mengandung
makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa
nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia
sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang
dimiliki bangsa indonesia..
- Nilai Kerakyatan
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah
mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.
- Nilai Keadilan
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu
tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atauun
batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya
abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat
operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh
nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
PENGERTIAN PARADIGMA PEMBANGUNAN
Istilah
Paradigma pada awalnya berkembang dalam ilmu pengetahuan terutama dalam
kaitannya dalam filsafat ilmu pengetahuan. Secara harfiah (etimologis) istilah
mengandung arti model, pola atau contoh. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,
paradigma diartikan sebagai seperangkat unsur bahasa yang sebagian bersifat
tetap dan yang sebagian berubah-ubah. Paradigma juga diartikan sebagai suatu
gugusan sistem pemikiran. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah
paradigma adalah Thomas S. Khun. Menurut pendapatnya, paradigma tidak lain
merupakan asumsi – asumsi teoritis yang umum ( merupakan suatu sumber nilai )
yang merupakan sumber hukum, metode serta cara penerapan dalam ilmu pengetahuan
tersebut.
Istilah
pembangunan menunjukan
adanya pertumbuhan, perluasan ekspansi yang bertalian dengan keadaan yang harus
digali dan dibangun agar dicapai kemajuan dimasa yang akan datang. Didalam
proses pembangunan terdapat perubahan yang terus menerus diarahkan untuk menuju
kemajuan dan perbaikan ke arah tujuan yang diciptakan. Dengan kata lain,
pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang direncanakan dan mencakup
semua aspek kehidupan untuk ,mewujudkan tujuan hidup.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum paradigma pembangunan
adalah suatu model, pola yang merupakan sistem berfikir sebagai upaya untuk
melaksanakan perubahan yang direncanakan guna mewujudkan cita-cita kehidupan
masyarakat menuju hari esok yang lebih baik.
Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan
Kita
tentunya tahu rumusan Pembukaan Undang – Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alenia IV. Dalam rumusan tersebut dinyatakan bahwa tujuan negara
Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh
tumpah darah indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka bangsa
indonesia menyelenggarakan proses pembangunan nasional.
Pembangunan
nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional dengan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan
tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaanya, pembangunan nasional
mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai – nilai luhur yang universal untuk
mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera,
maju serta kokoh kekuatan moral dan etikanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai
semua itu bangsa dan negara Indonesia harus menjadikan pancasila sebagai paradigma pembangunan.
1.
Pancasila
Sebagai Paradigma Reformasi Pembangunan
Reformasi secara etimologis berasal
dari kata reformation. Secara harfiah reformasi memiliki makna suatu gerakan
untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal – hal yang
menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan
nilai – nilai idel yang diciptakan rakyat.
Gerakan reformasi biasanya dilandasi oleh nilai – nilai dasar yang terkandung dalam ideologi nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, gerakan reformasi yang sedang dijalankan di Indonesia tentu saja tidak boleh menyimpang dari nilai – nilai fundamental negara yang terkandung dalam pancasila.
Dengan kata lain, gerakan reformasi di Indonesia harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif pancasila sebagai landasan dan cita – cita Ideologi. Hal ini dikarenakan, tanpa ada suatu dasar nilai yang jelas,
maka suatu gerakan reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta pada akhirnya menuju kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, gerakan reformasi yang berlangsung di Indonesia harus merupakan gerakan reformasi yang berperspektif pancasila, yaitu:
Gerakan reformasi biasanya dilandasi oleh nilai – nilai dasar yang terkandung dalam ideologi nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, gerakan reformasi yang sedang dijalankan di Indonesia tentu saja tidak boleh menyimpang dari nilai – nilai fundamental negara yang terkandung dalam pancasila.
Dengan kata lain, gerakan reformasi di Indonesia harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif pancasila sebagai landasan dan cita – cita Ideologi. Hal ini dikarenakan, tanpa ada suatu dasar nilai yang jelas,
maka suatu gerakan reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta pada akhirnya menuju kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, gerakan reformasi yang berlangsung di Indonesia harus merupakan gerakan reformasi yang berperspektif pancasila, yaitu:
v Reformasi yang Berketuhanan Yang
Maha Esa.
v Reformasi yang berkemanusiaan yang
adil dan beradap.
v Semangat reformasi harus berdasarkan
pada nilai persatuan.
v Semangat dan jiwa reformasi harus
berakar pada asas kerakyatan.
v Visi dasar gerakan reformasi harus
jelas.
2.
Pancasila
Sebagai Paradigma pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ( Iptek )
Pancasila sebagai paradigma
pembangunan iptek mengandung pengertian bahwa pancasila memberikan dasar nilai
bagi pembangunan Iptek demi kesejahteran manusia. Dengan kata lain, dalam
pengembangan Iptek, pancasila harus dijadikan sumber nilai, kerangka berfikir
serta dasar moralitas.
Adapun hakekat pancasila sebagai paradigma pembangunan Iptek adalah sebagai berikut:
Adapun hakekat pancasila sebagai paradigma pembangunan Iptek adalah sebagai berikut:
v Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan dasar atau landasan
bahwa pembangunan Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan atau
diciptakan, tetapi juga harus mempertimbangkan maksud dan akibat bagi manusia
dan lingkungannya. Pengolahan diimbangi dengan melestarikan. Sila ini
menempatkan manusia dialam semesta bukan sebagai pusatnya, melainkan sebagai
bagian sistematik dari alam yang diolahnya.
v Sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradap
memberikan landasan bahwa pembngunan Iptek harus bersifat beradap dan
diabadikan untuk peningkatan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu,
pembangunan Iptek harus didasarkan kepada tujuan dasarnya untuk mewujudkan
kesejahteraan manusia serta peningkatan harkat dan martabat manusia.
c. Sila persatuan Indonesia memberikan arahan bahwa pembangunan iptek hendaknya dapat mengembangkan nasionalisme, kebesaran bangsa dan keluhuran bangsa sebagai bagian umat manusia.
c. Sila persatuan Indonesia memberikan arahan bahwa pembangunan iptek hendaknya dapat mengembangkan nasionalisme, kebesaran bangsa dan keluhuran bangsa sebagai bagian umat manusia.
v Sila kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan mendasari pembangunan iptek secara
demokratis. Artinya, setiap ilmuwan harus memiliki kebebasan untuk
mengembangkan Iptek. Selain itu dalam pembangunan Iptek, setiap ilmuwan harus
menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus ,memiliki sikap
terbuka, artinya terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan
dengan teori lainnya.
v Sila keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
mengkomplementasikan pembangunan iptek haruslah menjaga keseimbngan keadilan
dalam kehidupan kemabusiaan, yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannya
dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia
lainnya, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam
lingkungannya.
3.
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan
IPOLEKSOSBUDHANKAM
v Pancasila sebagai Paradigma
perkembangan Bidang Ideologi
Perkembangan ideologi di Negara kita, harus selalu diartikan sebagai pengembangan Pancasila sebagai ideologi nasional. Dalam hal ini pancasila harus dipandang ideologi yang dinamis yang dapat menangkap tanda – tanda perkembangan dan perubahan zaman. Dalam perkembangan ideologi pancasila, harus senantiasa di perhatikan:
Perkembangan ideologi di Negara kita, harus selalu diartikan sebagai pengembangan Pancasila sebagai ideologi nasional. Dalam hal ini pancasila harus dipandang ideologi yang dinamis yang dapat menangkap tanda – tanda perkembangan dan perubahan zaman. Dalam perkembangan ideologi pancasila, harus senantiasa di perhatikan:
o
Kedudukan
pancasila sebagai ideologi terbuka, yang berarti pancasila merupakan bentuk
ideologi yang idealis,relistis, dan fleksibel yang selalu terbuka terhadap
upaya – upaya pembangunan dirinya tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai dasar
negara Republik Indonesia.
o
Wawasan
kebangsaan Indonesia ( nasionalisme ), yang berarti bansa Indonesia bukan
bangsa yang berdasarkan kepada ajaran agama tertentuserta tidak pula memisahkan
ajaran agama dalam proses penyelenggaran negara, tetapi bangsa indonesia telah
membangun suatu wawasan kebangsaan atau nasionalismebercirikan kepribadian
bansa indonesia sendiri, yaitu kebangsaan yang bebas dalam arti merdeka,
berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
v Pancasila Sebagai Paradigma pembangunan
Bidang Politik
proses pe4mbangunan politik negara terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila pancasila, sehingga praktek-praktek politik yang menghalalkan segala cara seperti memfitnah, memprovokasi, dan menghasut rakyat harus segera di akhiri. Selain itu, perwujudan pancasila dalam pengembangan kehidupan politik dapat di;lakukan dengan cara:
proses pe4mbangunan politik negara terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila pancasila, sehingga praktek-praktek politik yang menghalalkan segala cara seperti memfitnah, memprovokasi, dan menghasut rakyat harus segera di akhiri. Selain itu, perwujudan pancasila dalam pengembangan kehidupan politik dapat di;lakukan dengan cara:
o
Mewujudkan
tujuan negara demi peningkatan harkat dan martabat manusia indonesia
o
Memposisikan
rakyat Indonesia sebagai subjek dalam kehidupan politik, bukan hanya sebagai
objek politik penguasa semata
o
Sistem
politik negara harus mendasarkan pada tuntutan hak dasar kemanusiaan, sehingga
sistem politik negara harus mampu menciptakan sistem yang menjamin perwujudan
hak asai manusia
o
Para
penyelenggara negara dan para politisi senantiasa memegang budi pekerti
ke,manusiaan serta memegang teguh cita-cita moral rakyat Indonesia
v Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Bidang Ekonomi
o
Perwujudan
pancasila sebagai paradigma dan moralitas dalam pembangunan bidang ekonomi
dapat dilakukan dengan cara:
ü Sistem ekonomi negara senantiasa
mendasarkan pada pemikiran untuk mengembangkan ekonomi atas dasar moralitas
kemanusiaan dan ketuhanan
ü Menghindari pengembangan ekonomi
yang mengarah pada sistem monopoli dan persaingan bebas
ü Mengembangkan sistem ekonomi
kerakyatan dan kekeluargaan yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat
secara luas
v Pancasila sebagai paradigma
pembangunan bidang sosial budaya
Pembangunan sosial budaya termasuk salah satu aspek pembangunan yang penting dan senantiasa terus ditingkatkan kualitasnya. Seperti halnya dalam pembangunan aspek yang lainnya, pancasila kembali menjadi dasar moralitas utama untuk menyelenggarakan proses pembangunan dalam aspek ini, yang dapat diwujudkan dengan cara:
Pembangunan sosial budaya termasuk salah satu aspek pembangunan yang penting dan senantiasa terus ditingkatkan kualitasnya. Seperti halnya dalam pembangunan aspek yang lainnya, pancasila kembali menjadi dasar moralitas utama untuk menyelenggarakan proses pembangunan dalam aspek ini, yang dapat diwujudkan dengan cara:
o
Senantiasa
berdasarkan kepada sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki
oleh masyarakat indonesia
o
Pembangunan
ditujukan untuk meningkatkan derajat kemerdekaan manusia dan kebebasan
spiritual
o
Menciptakan
sistem sosial budaya yang beradap melaui pendekatan kemanusian secara universal
v Pancasila sebagai paradigma
pembangunan bidang pertahanan dan keamanan
Persatuan dan kesatuan bangsa indonesia dapat terwujud salah satunya dengan adanya sistem pertahanan dan keamanan negara. Oleh karena itu, pembangunan dalam bidang pertahanan dan keamanan mutlak dilakukan dengan senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai pancasila. Perwujudan nilai-nilai pancasila dalam pembangunan bidang ini dapat dilakukan dengan cara:
Persatuan dan kesatuan bangsa indonesia dapat terwujud salah satunya dengan adanya sistem pertahanan dan keamanan negara. Oleh karena itu, pembangunan dalam bidang pertahanan dan keamanan mutlak dilakukan dengan senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai pancasila. Perwujudan nilai-nilai pancasila dalam pembangunan bidang ini dapat dilakukan dengan cara:
o
Pertahanan
dan keamanan negara harus berdasarkan kepada tujuan demi tercapainya
kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
o
Pertahanan
dan keamanan negara harus berdasarkan pada tujuan demi tercapainya kepentingan
seluruh warga negara
indonesia
o
Pertahanan
dan keamanan harus mampu menjamin hak asai manusia, persamaan derajat serta
kebebasan kemanusiaan
o
Pertahanan
dan keamanan negara harus dipruntukan demi terwujudnya keadilan dalam kehidupan
masyarakat - See more at:
http://www.mysusis.com/2013/07/makalah-pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan.html#.UjLXIthUjEQ
Selasa, 01 Juli 2014
Sejarah Perkembangan Kota Tua Jakarta
By Unknown at 22.29
No comments
A. Kota Tua Jakarta
1. Letak Geografis
Kota Tua Jakarta terletak di Kelurahan Pinangsia Kecamatan Tamansari Kotamadya Jakarta Barat. Saat ini, kawasan Kota Tua berada di dua wilayah kotamadya, yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kota Tua sebagai cikal bakal Jakarta, tentunya menyimpan banyak cerita di balik megahnya bangunan (tua) cagar budaya peninggalan masa lalu dari zaman kolonial Belanda.
Kota Tua Jakarta, daerahnya berbatasan sebelah utara dengan Pasar Ikan, Pelabuhan Sunda Kalapa dan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Jembatan Batu dan jalan Asemka, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Krukut dan sebelah Timur berbatasan dengan Kali Ciliwung.
Kota Tua Jakarta di masa lalu merupakan kota rebutan yang menjadi simbol kejayaan bagi siapa saja yang mampu menguasainya. Tak heran jika mulai dari Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda –Pajajaran, Kesultanan Banten –Jayakarta, Verenigde Oost-indische Compagnie (VOC), Pemerintah Jepang, hingga kini Republik Indonesia melalui Pemerintah DKI Jakarta, terus berupaya mempertahankannya menjadi kota nomor satu di negara ini.
2. Latar Belakang Sejarah
Sejarah Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini dikenal sebagai Sunda Kalapa. Pelabuhan ini pernah dikenal berbagai bangsa di dunia sebagai pelabuhan dagang internasional termegah di Asia Tenggara. Fa Hsien pengelana Cina pada abad ke-5 M menceritakan bahwa di bentangan Teluk Jakarta terdapat sebuah wilayah kekuasaan yang disebut “To-lo-mo” atau Tarumanegara.[1] Hal ini juga terdapat di dalam kronik Dinasti Tang yang menyebutkan tentang kedatangan utusan-utusan kerajaan To-lo-mo (penyebutan orang-orang Cina terhadap Ta-ru-ma) pada tahun 525, 528, 666 dan tahun 669 M ke negeri Cina. To-lo-mo disamakan dengan ucapan lidah orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma atau Tarumanegara.
Sagimun (1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-negara atau Taruma berasal dari kata tarum, yaitu sejenis tumbuh-tumbuhan yang daunnya dibuat nila, yakni bahan cat biru dari daun tarum (indigofera). Nila sering digunakan untuk mewarnai kain atau sejenisnya. Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai di Jawa Barat, yaitu Citarum. Jika kita perhatikan secara geografis, maka letak kerajaan Tarumanegara itu memang terletak di aliran Citarum.[2]
Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal, Purnawarman, wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Jakarta, Bekasi, Banten, dan Citarum. Hal ini dapat di ketahui dari tujuh buah prasasti yang ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan Jakarta, yakni prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak, dan prasasti Tugu[3]. Prasasti yang terakhir inilah yang paling banyak memberikan keterangan dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa, yaitu Tarumanegara.
Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada 1910, prasasti ini dipindahkan ke Museum Pusat[4] (Kini Museum Nasional/ Museum Gajah), dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.
Setelah Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti baginda. Selama beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang begitu saja dan kerajaan ini mengalami masa kegelapan di dalam sejarah. Hal ini karena tidak ada satupun sumber sejarah (seperti prasasti atau batu bertulis) yang menceritakan tentang aktivitas kehidupan manusia di Jawa Barat setelah Tarumanegara mengirimkan utusannya yang terakhir pada 669 M ke negeri Cina.
Rupanya kerajaan Tarumanegara telah dikalahkan oleh suatu kekuasaan luar. Namun, tidak mungkin seluruh rakyatnya musnah dan lenyap begitu saja dari permukaan bumi. Ada dugaan kuat, bahwa kerajaan Tarumanegara dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya (yang pusatnya di Palembang). Hal ini dapat diketahui dalam prasasti Keduken Bukit, Kota Kapur dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
Pada tahun 686 M, Sriwijaya melaksanakan ekspedisi militernya ke Bhumijawa. Hal ini tercantum di dalam prasasti Kota Kapur yang berangka tahun saka 608 atau tahun 686 M. Di dalam prasasti ini diceritakan pula bahwa Bhumijawa tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan Sriwijaya mengirimkan tentaranya untuk menyerang dan menghukum Bhumijawa.
Dugaan ini semakin kuat bahwa Bhumijawa yang dimaksud di dalam prasasti Kota Kapur itu jelas adalah Tanah Jawa atau Pulau Jawa. Kerajaan atau negeri yang letaknya di Bhumijawa dan berdekatan dengan kerajaan Sriwijaya pada waktu itu adalah kerajaan Tarumanegara. Maka sangat dimungkinkan kerajaan Tarumanegara diserang dan dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya.[5]
Beberapa abad kemudian, (pelabuhan) Tarumanegara dikenal sebagai pelabuhan Kalapa. Karena berada di bawah penguasaan Kerajaan Sunda –Pajajaran, maka kemudian bernama Sunda Kalapa[6] yang terletak di muara sungai Ciliwung. Hal ini didasarkan atas keterangan di dalam prasasti Batu Tulis yang ditemukan pada 15 Juni 1960.
Penjelasan mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat oleh keterangan seorang pelaut Belanda Jan Huygen van Linschoten, yang menemukan rahasia-rahasia perdagangan dan navigasi bangsa Portugis, dalam karyanya Itinerario, Lincshoten mengungkapkan bahwa “pelabuhan utama di pulau ini (jawa) adalah Sunda Calapa. Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih tinggi daripada lada India atau Malabar...”[7]
Kerajaan Sunda –Pajajaran diperkirakan muncul pada abad ke-14 dan pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, Bogor. Rajanya yang terkenal ketika itu adalah Sri Baduga Maharaja. Menurut Baros, seorang pengelana Portugis, jumlah penduduk kerajan Sunda Pajajaran berkisar 100.000 jiwa. Baros, juga menambahkan, bahwa penduduk yang bermukim di Sunda Kalapa ketika itu kurang lebih 10.000 jiwa.[8]
Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan salah satu dari enam pelabuhan penting di bawah penguasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang lokal dan internasional terutama dari negeri Cina. Pelabuhan-pelabuhan itu antara lain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Cimanuk dan Kalapa atau Sunda Kalapa.
Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang letaknya paling strategis. Pelabuhan ini mencuat pada abad ke-14 dan semakin terkenal di awal abad ke-16.[9] Dimana ketika itu orang-orang Portugis di Malaka telah menjalin kerjasama perdagangan dan pertahanan dengan penguasa Sunda Kalapa pada 21 Agustus 1522 yang diwujudkan ke dalam prasasti Padrao (baca: Padrong).
Sementara itu di tempat lain, di sebelah Barat Kerajaan Sunda telah muncul Kesultanan Banten serta di sebelah Timur-nya telah muncul pula Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon yang ternyata juga sangat berminat terhadap Pelabuhan Sunda Kalapa yang ramai itu.
Akhirnya, pada 22 Juni 1527,[10] Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bersatu di bawah pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa yang secara cepat berhasil merebut dan menguasai Sunda Kalapa. Bangsawan asal Sumatera sekaligus menantu dari Sultan Trenggono –penguasa Demak ini, kemudian mengganti nama Sunda Kalapa yang baru direbutnya itu, menjadi pelabuhan “Jayakarta” yang berarti kemenangan sempurna,[11] atau kemenangan yang gilang gemilang.
Fatahillah, kemudian diangkat menjadi bupati Jayakarta, yang secara hierarkis bertanggung jawab kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, wali yang berkedudukan di Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, putranya Maulana Hasanudin menjadi Sultan berdaulat di Banten dan Jayakarta menjadi wilayah vasal dari kesultanan Banten.
Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika orang-orang Belanda di bawah bendera VOC[12] pimpinan Jan Pieterszoon Coen[13] berhasil menaklukan Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke hutan Jati hingga wafat dan dikubur di sana.[14]
JP. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan seluruh isinya dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Di bawah penguasaannya, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di (dalam dan di luar benteng) Batavia.
Ternyata, tidak semua mimpi JP. Coen membuahkan hasil. Sang pendiri Batavia ini terlampau dianggap kontroversial serta bahkan oleh sejarawan kolonial abad ke-20, JA. Van Den Chijs dikatakan bahwa “namanya selalu berbau darah”.[15] Namun, terlepas dari semua itu, pada ulang tahun Batavia ke-250 (1869) di Waterlooplein (Lapangan Banteng), dibangun patung JP.Coen yang berpose gaya Napoleon. Namun, sayang pada masa Jepang patung tersebut dilebur menjadi logam tua.[16]
Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat kota dan pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712. Namun, dua tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck (1653-1713).[17] Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai Kota kedua dari Balai Kota pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada tahun 1620, tapi hanya bertahan selama beberapa tahun saja.
Kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota sangat beragam, selain mengurus masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan, catatan sipil, peradilan, tempat hukuman mati, dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya sebagai “Gedung Bicara”. Kemudian, Balai Kota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan, karena banyak para tahanan yang mati sebelum dijatuhkannya hukuman. Di samping itu juga Balai Kota digunakan sebagai pusat milisi atau Schutterij dari tahun 1620-1815 yang dikomandani oleh seorang ketua Dewan Kota Praja.
Pada bulan Agustus 1816, Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah bahwa Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balai Kota ini menjadi kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah Kota Praja Batavia pindah ke tempatnya di Medan Merdeka selatan di samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang.
Seusai Perang dunia II, gedung Balai kota itu dipakai sebagai Markas tentara (Kodim 0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik, dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sementara itu, bentuk kota Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1628 dan 1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.
Sepeninggal JP. Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang berharga yang tersimpan dibalik tembok kuatnya.
Di seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan Batavia. Bastion atau kubu ini sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan didalamnya. Di belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada, kopi dan teh. Sebagian besar gudang penting ini sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer Er Scheepswerf (Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak tahun 1632, di atas tanah timbunan di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini air Kali Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.
Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah dikarenakan balok, kusen dan papan dinding didalamnya di cat merah. Rumah ini di bangun sekitar tahun 1730 oleh G. Von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur jenderal.[18] Pada abad ke-18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin Van Het Oosten (Ratu dari Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya Eropa yang muncul di benua tropis.
Namun, pada akhir abad ke-18 citra Ratu dari Timur itu menurun drastis. Willard A. Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal 4-5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut seakan-akan mundur sekurang-kurangnya 1 kilometer ke arah pedalaman.
Untuk menanggulangi berbagai masalah penyaluran air dan guna membuka daerah baru di pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah mengubah sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah Selatan kota pada tahun 1732. Jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah mal-aria (malaria), suatu bencana baru bagi penduduk kota yang berulang kali menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui).
Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih, lalu tidah usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu saja.
Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah ke selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur di pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Gereja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang batu’ untuk membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan. ‘Tambang Batu’ ini terjadi karena begitu banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumah dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan :
“Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar 45 derajat garis lintang, waktu mereka membangun sebuah kota menurut model kota-kota Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini makin parah selama 80 tahun -sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4-5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber air ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di Batavia bahkan tanggul-tanggulnya penuh dengan lumpur. Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman Perancis tahun 1809 (zaman Perancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali di timbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat daripada kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi jelek”.[19]
Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di Kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.
Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Nieuw Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden (kini sekitar Gambir dan Monas). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah kota akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan. Akankah tragedi ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia yang kerap melampaui batas sewajarnya.
VOC hanya bertahan hingga 1799,[20] setelah itu pemerintahan Nederlansche Indie (Hindia Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan Belanda. Di bawah penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw Batavia ini berkembang pesat. Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini.
Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Kerajaan Belanda atas Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun Pelabuhan Batavia digantinya menjadi Pelabuhan Jakarta.[21] Pada periode ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan tanah. Salah satunya Amsterdam Poort yang terletak di jalan Cengkeh sekarang. Untung saja Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda di Proklamasikan rakyat Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai ibukota dari Republik Indonesia.
3. Pentingnya Pelestarian Kota Tua Jakarta
Dengan latar belakang sejarah yang begitu panjang, maka sangat layak jika kemudian daerah bekas kekuasaan berbagai kerajaan dan negara itu kita sebut sebagai Kota Tua. Sebagai Kota yang tua (lama), sudah tentu banyak menyimpan bangunan-bangunan (tua) sisa peninggalan para pendahulu yang bernilai sejarah, arsitektur dan arkelologis dari beberapa zaman yang berbeda.
Untuk melestarikannya, pemerintah DKI Jakarta melindungi bangunan-bangunan tersebut berdasarkan Undang-Undang Monumenten Ordonantie No.19 tahun 1931, (Staatsblad Tahun 1931 No. 238), yang telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934, No. 515).[22] Upaya ini tak lepas dari peran dan ide sang Gubernur Jakarta ketika itu, yakni Ali Sadikin (1966-1977) tatkala dirinya banyak berkunjung ke Eropa saat menjabat sebagai Deputy Menteri Panglima Angkatan Laut sebelum menjadi gubernur.
Bang Ali (panggilan akrab Ali Sadikin), segera merealisasikan ide dan gagasannya itu dengan berlandaskan pada Undang-Undang di atas ke dalam SK Gubernur No.Cb. 11/1/12/1972 tanggal 10 Januari 1972 yang pada intinya berisi penetapan tentang pemugaran bangunan, penetapan daerah khusus yang dilindungi karena bernilai sejarah dan arsitektur.
Upaya ini sempat terhenti selama lebih dari 20 tahun, dan dinilai perlu untuk menetapkan pengaturan benda-benda cagar budaya dengan mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang setahun kemudian direalisasikan oleh Pemda DKI Jakarta dengan mengeluarkan SK Gubernur No.Cb. 475 Tahun 1993 yang isinya menetapkan Bangunan-Banguan Bersejarah dan Monumen di DKI Jakarta dilindungi sebagai bangunan cagar budaya (BCB) oleh pemerintah.
Benda Cagar Budaya seperti yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisanya, yang berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Semua benda cagar budaya, yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia, dikuasai oleh negara.
Asep Kambali, pemerhati Kota Tua Jakarta mengatakan bahwa di Jakarta terdapat lebih dari 216 bangunan cagar budaya (BCB) yang dilindungi berdasarkan SK Gub. No. 475/1993 yang diantaranya itu hampir 75% kondisinya sangat mengkhawatirkan.[23] Hal ini menjadi bukti bahwa warga Jakarta belum memiliki perhatian dan kepedulian terhadap potensi kotanya sendiri. Ini juga disinyalir sebagai rendahnya kesadaran sejarah dan budaya warga kota metropolitan tersebut.
4. Potensi yang terabaikan
Kini, kawasan Kota Tua Jakarta sedang dibenahi Pemda DKI Jakarta dalam suatu proyek revitalisasi. Namun, berdasarkan pengamatan penulis, sangat disayangkan proyek tersebut baru serius dikerjakan ketika terdapat beberapa bangunan-banguan (tua) cagar budaya telah hancur dan kondisinya sangat memprihatinkan. Jembatan Kota Intan yang dibangun 1628 misalnya, kini diambang roboh karena kondisinya telah rapuh. Ditambah lagi beberapa bangunan lain seperti seperti Museum Bahari yang atapnya roboh pertengahan tahun 2006 lalu; Gedung Cipta Niaga yang dibangun sekitar 1910-an, kini kondisi atapnya telah roboh; gedung Kota Bawah yang semakin hari semakin merana, dan sebagainya yang itu semua teramati secara jelas oleh Peneliti ketika melakukan observasi ke daerah Kota Tua Jakarta.
Gedung-gedung tersebut merupakan saksi sejarah yang seharusnya dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatkan sebagi potensi pariwisata yang bermanfaat ekonomis dan sosial. Namun, sejak pemerintah memfokuskan pembanguan ke kawasan “segitiga emas” Jl. Sudirman, Jl. MH. Thamrin dan Jl. HR. Rasuna Said, kawasan Kota Tua sepertinya dilupakan oleh pemerintah lebih dari 30 tahun sejak Bang Ali menetapkan Kota Tua Jakarta sebagai kawasan cagar budaya yang dilindungi.
Salah satu proyek revitalisasi yang gencar dilakukan dan kini tersendat adalah Proyek Tunel (Tempat Penyeberangan Orang Bawah Tanah –TPO BT) yang menghubungkan Museum Bank Mandiri dengan Stasiun BeOS –Jakarta Kota. Proyek itu sangat kontroversial karena kabarnya tidak melibatkan sejarawan dan arkeolog dalam pelaksanaanya. Kabarnya proyek ini melanggar SK Gub. No.475/1993, dan berdasarkan SK tersebut, proyek ini layak jika disebut sebagai Archeological Crime. Hal ini disebabkan proyek tidak dihentikan ketika banyak ditemukannya artefak-artefak dari dalam tanah pada proyek tersebut.[24]
Proyek yang lain adalah Pembangunan Predestrian (trotoar) Jalan Pintu Besar Utara sepanjang 300 meter. Proyek ini walaupun telah selesai, kabarnya juga kontroversial. Konsep yang di kerjakan oleh arsitek kenamaan Budi Liem, juga mengundang kritik banyak pihak seperti ahli tata ruang kota, Marco Kusumawidjaja.[25]
Kedua proyek di atas, sebenarnya adalah untuk mendukung Revitalisasi Kota Tua yang sudah hampir 30 tahun tersendat. Namun, perlu digarisbawahi, hal yang paling penting adalah bahwa ini tak terlepas dari upaya bagaimana sesungguhnya menumbuhkan penghargaan, kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap kawasan Kota Tua Jakarta.
Pemerintah jujur mengakui, bahwa generasi muda kita saat ini kurang begitu suka berkunjung ke museum atau pun ke Kota Tua Jakarta.[26] Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran sejarah dan budaya masyarakat Jakarta terhadap kotanya. Belajar sejarah merupakan sesuatu yang membosankan, apa lagi berkunjung ke museum yang sama sekali belum menjadi habbit (kebiasaan). Betapa tidak, pilihan diluar museum lebih manjanjikan dan menyenangkan, seperti mall, toserba, bioskop 21, atau tempat-tempat hiburan lain ketimbang museum dan Kota Tua. Selain akses lalulintas yang saban hari macet, keamanan dan kenyamanan pengunjung menjadi taruhan. Upaya ini memang harus menyeluruh dan sinergi berbagai pihak sangat diperlukan.
5. Yang Masih Tersisa
Bagi warga ibukota, Kota Tua Jakarta merupakan tempat yang ‘asing,’ menyulitkan dan sekaligus menakutkan. Kehidupan malam atau siang di kawasan ini dikenal sangat crowded. Bagi yang baru pertama kali ke daerah Kota, disarankan untuk tidak pergi sendirian, apalagi jika seorang perempuan. Tetapi sangat berbeda bagi Komunitas Historia dan para penggemarnya, malam atau siang tetap saja menyenangkan, karena di kawasan ini terdapat banyak sekali bangunan tua dari jaman Belanda yang menjadi tempat belajar sejarah dan jalan-jalan santai yang menantang dan menyenangkan. Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat bebeberapa bangunan (tua) cagar budaya seperti gedung Stasiun BeOS[27] yang dibangun pada 1925; gedong Factorij Nederlandshe Handel Matshappij (NHM) yang dibangun tahun 1929 –kini Museum Bank Mandiri; gedung Stadhuis VOC (1707) –kini Museum Sejarah Jakarta; Pelabuhan Sunda Kalapa (1527); Jembatan Kota Intan (1628); de Javasche Bank (1828) –kini Museum Bank Indonesia; Toko Merah (1730); kawasan glodok sebagai perkampungan orang-orang Cina di Batavia (1740); daerah Pekojan sebagai kampungnya orang Arab di Batavia; Gereja Sion (1695) yang dahulu dikenal sebagai De Nieuwe Portugeesche Buiten Kerk; area bekas Gudang VOC Sisi Barat (Westijzsche Pakhuiszen) yang dibangun 1652 –kini Museum Bahari, dan bangunan bekas Gudang Kayu di belakang Museum Bahari sebagai penunjang galangan kapal di Batavia, serta beberapa bangunan lain yang kondisinya sangat megah dan indah, tetapi mengkhawatirkan.[End]
1. Letak Geografis
Kota Tua Jakarta terletak di Kelurahan Pinangsia Kecamatan Tamansari Kotamadya Jakarta Barat. Saat ini, kawasan Kota Tua berada di dua wilayah kotamadya, yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kota Tua sebagai cikal bakal Jakarta, tentunya menyimpan banyak cerita di balik megahnya bangunan (tua) cagar budaya peninggalan masa lalu dari zaman kolonial Belanda.
Kota Tua Jakarta, daerahnya berbatasan sebelah utara dengan Pasar Ikan, Pelabuhan Sunda Kalapa dan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Jembatan Batu dan jalan Asemka, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Krukut dan sebelah Timur berbatasan dengan Kali Ciliwung.
Kota Tua Jakarta di masa lalu merupakan kota rebutan yang menjadi simbol kejayaan bagi siapa saja yang mampu menguasainya. Tak heran jika mulai dari Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda –Pajajaran, Kesultanan Banten –Jayakarta, Verenigde Oost-indische Compagnie (VOC), Pemerintah Jepang, hingga kini Republik Indonesia melalui Pemerintah DKI Jakarta, terus berupaya mempertahankannya menjadi kota nomor satu di negara ini.
2. Latar Belakang Sejarah
Sejarah Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini dikenal sebagai Sunda Kalapa. Pelabuhan ini pernah dikenal berbagai bangsa di dunia sebagai pelabuhan dagang internasional termegah di Asia Tenggara. Fa Hsien pengelana Cina pada abad ke-5 M menceritakan bahwa di bentangan Teluk Jakarta terdapat sebuah wilayah kekuasaan yang disebut “To-lo-mo” atau Tarumanegara.[1] Hal ini juga terdapat di dalam kronik Dinasti Tang yang menyebutkan tentang kedatangan utusan-utusan kerajaan To-lo-mo (penyebutan orang-orang Cina terhadap Ta-ru-ma) pada tahun 525, 528, 666 dan tahun 669 M ke negeri Cina. To-lo-mo disamakan dengan ucapan lidah orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma atau Tarumanegara.
Sagimun (1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-negara atau Taruma berasal dari kata tarum, yaitu sejenis tumbuh-tumbuhan yang daunnya dibuat nila, yakni bahan cat biru dari daun tarum (indigofera). Nila sering digunakan untuk mewarnai kain atau sejenisnya. Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai di Jawa Barat, yaitu Citarum. Jika kita perhatikan secara geografis, maka letak kerajaan Tarumanegara itu memang terletak di aliran Citarum.[2]
Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal, Purnawarman, wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Jakarta, Bekasi, Banten, dan Citarum. Hal ini dapat di ketahui dari tujuh buah prasasti yang ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan Jakarta, yakni prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak, dan prasasti Tugu[3]. Prasasti yang terakhir inilah yang paling banyak memberikan keterangan dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa, yaitu Tarumanegara.
Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada 1910, prasasti ini dipindahkan ke Museum Pusat[4] (Kini Museum Nasional/ Museum Gajah), dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.
Setelah Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti baginda. Selama beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang begitu saja dan kerajaan ini mengalami masa kegelapan di dalam sejarah. Hal ini karena tidak ada satupun sumber sejarah (seperti prasasti atau batu bertulis) yang menceritakan tentang aktivitas kehidupan manusia di Jawa Barat setelah Tarumanegara mengirimkan utusannya yang terakhir pada 669 M ke negeri Cina.
Rupanya kerajaan Tarumanegara telah dikalahkan oleh suatu kekuasaan luar. Namun, tidak mungkin seluruh rakyatnya musnah dan lenyap begitu saja dari permukaan bumi. Ada dugaan kuat, bahwa kerajaan Tarumanegara dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya (yang pusatnya di Palembang). Hal ini dapat diketahui dalam prasasti Keduken Bukit, Kota Kapur dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
Pada tahun 686 M, Sriwijaya melaksanakan ekspedisi militernya ke Bhumijawa. Hal ini tercantum di dalam prasasti Kota Kapur yang berangka tahun saka 608 atau tahun 686 M. Di dalam prasasti ini diceritakan pula bahwa Bhumijawa tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan Sriwijaya mengirimkan tentaranya untuk menyerang dan menghukum Bhumijawa.
Dugaan ini semakin kuat bahwa Bhumijawa yang dimaksud di dalam prasasti Kota Kapur itu jelas adalah Tanah Jawa atau Pulau Jawa. Kerajaan atau negeri yang letaknya di Bhumijawa dan berdekatan dengan kerajaan Sriwijaya pada waktu itu adalah kerajaan Tarumanegara. Maka sangat dimungkinkan kerajaan Tarumanegara diserang dan dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya.[5]
Beberapa abad kemudian, (pelabuhan) Tarumanegara dikenal sebagai pelabuhan Kalapa. Karena berada di bawah penguasaan Kerajaan Sunda –Pajajaran, maka kemudian bernama Sunda Kalapa[6] yang terletak di muara sungai Ciliwung. Hal ini didasarkan atas keterangan di dalam prasasti Batu Tulis yang ditemukan pada 15 Juni 1960.
Penjelasan mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat oleh keterangan seorang pelaut Belanda Jan Huygen van Linschoten, yang menemukan rahasia-rahasia perdagangan dan navigasi bangsa Portugis, dalam karyanya Itinerario, Lincshoten mengungkapkan bahwa “pelabuhan utama di pulau ini (jawa) adalah Sunda Calapa. Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih tinggi daripada lada India atau Malabar...”[7]
Kerajaan Sunda –Pajajaran diperkirakan muncul pada abad ke-14 dan pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, Bogor. Rajanya yang terkenal ketika itu adalah Sri Baduga Maharaja. Menurut Baros, seorang pengelana Portugis, jumlah penduduk kerajan Sunda Pajajaran berkisar 100.000 jiwa. Baros, juga menambahkan, bahwa penduduk yang bermukim di Sunda Kalapa ketika itu kurang lebih 10.000 jiwa.[8]
Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan salah satu dari enam pelabuhan penting di bawah penguasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang lokal dan internasional terutama dari negeri Cina. Pelabuhan-pelabuhan itu antara lain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Cimanuk dan Kalapa atau Sunda Kalapa.
Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang letaknya paling strategis. Pelabuhan ini mencuat pada abad ke-14 dan semakin terkenal di awal abad ke-16.[9] Dimana ketika itu orang-orang Portugis di Malaka telah menjalin kerjasama perdagangan dan pertahanan dengan penguasa Sunda Kalapa pada 21 Agustus 1522 yang diwujudkan ke dalam prasasti Padrao (baca: Padrong).
Sementara itu di tempat lain, di sebelah Barat Kerajaan Sunda telah muncul Kesultanan Banten serta di sebelah Timur-nya telah muncul pula Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon yang ternyata juga sangat berminat terhadap Pelabuhan Sunda Kalapa yang ramai itu.
Akhirnya, pada 22 Juni 1527,[10] Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bersatu di bawah pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa yang secara cepat berhasil merebut dan menguasai Sunda Kalapa. Bangsawan asal Sumatera sekaligus menantu dari Sultan Trenggono –penguasa Demak ini, kemudian mengganti nama Sunda Kalapa yang baru direbutnya itu, menjadi pelabuhan “Jayakarta” yang berarti kemenangan sempurna,[11] atau kemenangan yang gilang gemilang.
Fatahillah, kemudian diangkat menjadi bupati Jayakarta, yang secara hierarkis bertanggung jawab kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, wali yang berkedudukan di Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, putranya Maulana Hasanudin menjadi Sultan berdaulat di Banten dan Jayakarta menjadi wilayah vasal dari kesultanan Banten.
Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika orang-orang Belanda di bawah bendera VOC[12] pimpinan Jan Pieterszoon Coen[13] berhasil menaklukan Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke hutan Jati hingga wafat dan dikubur di sana.[14]
JP. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan seluruh isinya dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Di bawah penguasaannya, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di (dalam dan di luar benteng) Batavia.
Ternyata, tidak semua mimpi JP. Coen membuahkan hasil. Sang pendiri Batavia ini terlampau dianggap kontroversial serta bahkan oleh sejarawan kolonial abad ke-20, JA. Van Den Chijs dikatakan bahwa “namanya selalu berbau darah”.[15] Namun, terlepas dari semua itu, pada ulang tahun Batavia ke-250 (1869) di Waterlooplein (Lapangan Banteng), dibangun patung JP.Coen yang berpose gaya Napoleon. Namun, sayang pada masa Jepang patung tersebut dilebur menjadi logam tua.[16]
Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat kota dan pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712. Namun, dua tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck (1653-1713).[17] Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai Kota kedua dari Balai Kota pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada tahun 1620, tapi hanya bertahan selama beberapa tahun saja.
Kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota sangat beragam, selain mengurus masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan, catatan sipil, peradilan, tempat hukuman mati, dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya sebagai “Gedung Bicara”. Kemudian, Balai Kota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan, karena banyak para tahanan yang mati sebelum dijatuhkannya hukuman. Di samping itu juga Balai Kota digunakan sebagai pusat milisi atau Schutterij dari tahun 1620-1815 yang dikomandani oleh seorang ketua Dewan Kota Praja.
Pada bulan Agustus 1816, Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah bahwa Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balai Kota ini menjadi kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah Kota Praja Batavia pindah ke tempatnya di Medan Merdeka selatan di samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang.
Seusai Perang dunia II, gedung Balai kota itu dipakai sebagai Markas tentara (Kodim 0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik, dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sementara itu, bentuk kota Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1628 dan 1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.
Sepeninggal JP. Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang berharga yang tersimpan dibalik tembok kuatnya.
Di seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan Batavia. Bastion atau kubu ini sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan didalamnya. Di belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada, kopi dan teh. Sebagian besar gudang penting ini sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer Er Scheepswerf (Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak tahun 1632, di atas tanah timbunan di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini air Kali Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.
Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah dikarenakan balok, kusen dan papan dinding didalamnya di cat merah. Rumah ini di bangun sekitar tahun 1730 oleh G. Von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur jenderal.[18] Pada abad ke-18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin Van Het Oosten (Ratu dari Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya Eropa yang muncul di benua tropis.
Namun, pada akhir abad ke-18 citra Ratu dari Timur itu menurun drastis. Willard A. Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal 4-5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut seakan-akan mundur sekurang-kurangnya 1 kilometer ke arah pedalaman.
Untuk menanggulangi berbagai masalah penyaluran air dan guna membuka daerah baru di pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah mengubah sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah Selatan kota pada tahun 1732. Jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah mal-aria (malaria), suatu bencana baru bagi penduduk kota yang berulang kali menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui).
Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih, lalu tidah usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu saja.
Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah ke selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur di pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Gereja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang batu’ untuk membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan. ‘Tambang Batu’ ini terjadi karena begitu banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumah dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan :
“Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar 45 derajat garis lintang, waktu mereka membangun sebuah kota menurut model kota-kota Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini makin parah selama 80 tahun -sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4-5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber air ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di Batavia bahkan tanggul-tanggulnya penuh dengan lumpur. Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman Perancis tahun 1809 (zaman Perancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali di timbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat daripada kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi jelek”.[19]
Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di Kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.
Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Nieuw Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden (kini sekitar Gambir dan Monas). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah kota akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan. Akankah tragedi ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia yang kerap melampaui batas sewajarnya.
VOC hanya bertahan hingga 1799,[20] setelah itu pemerintahan Nederlansche Indie (Hindia Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan Belanda. Di bawah penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw Batavia ini berkembang pesat. Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini.
Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Kerajaan Belanda atas Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun Pelabuhan Batavia digantinya menjadi Pelabuhan Jakarta.[21] Pada periode ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan tanah. Salah satunya Amsterdam Poort yang terletak di jalan Cengkeh sekarang. Untung saja Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda di Proklamasikan rakyat Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai ibukota dari Republik Indonesia.
3. Pentingnya Pelestarian Kota Tua Jakarta
Dengan latar belakang sejarah yang begitu panjang, maka sangat layak jika kemudian daerah bekas kekuasaan berbagai kerajaan dan negara itu kita sebut sebagai Kota Tua. Sebagai Kota yang tua (lama), sudah tentu banyak menyimpan bangunan-bangunan (tua) sisa peninggalan para pendahulu yang bernilai sejarah, arsitektur dan arkelologis dari beberapa zaman yang berbeda.
Untuk melestarikannya, pemerintah DKI Jakarta melindungi bangunan-bangunan tersebut berdasarkan Undang-Undang Monumenten Ordonantie No.19 tahun 1931, (Staatsblad Tahun 1931 No. 238), yang telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934, No. 515).[22] Upaya ini tak lepas dari peran dan ide sang Gubernur Jakarta ketika itu, yakni Ali Sadikin (1966-1977) tatkala dirinya banyak berkunjung ke Eropa saat menjabat sebagai Deputy Menteri Panglima Angkatan Laut sebelum menjadi gubernur.
Bang Ali (panggilan akrab Ali Sadikin), segera merealisasikan ide dan gagasannya itu dengan berlandaskan pada Undang-Undang di atas ke dalam SK Gubernur No.Cb. 11/1/12/1972 tanggal 10 Januari 1972 yang pada intinya berisi penetapan tentang pemugaran bangunan, penetapan daerah khusus yang dilindungi karena bernilai sejarah dan arsitektur.
Upaya ini sempat terhenti selama lebih dari 20 tahun, dan dinilai perlu untuk menetapkan pengaturan benda-benda cagar budaya dengan mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang setahun kemudian direalisasikan oleh Pemda DKI Jakarta dengan mengeluarkan SK Gubernur No.Cb. 475 Tahun 1993 yang isinya menetapkan Bangunan-Banguan Bersejarah dan Monumen di DKI Jakarta dilindungi sebagai bangunan cagar budaya (BCB) oleh pemerintah.
Benda Cagar Budaya seperti yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisanya, yang berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Semua benda cagar budaya, yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia, dikuasai oleh negara.
Asep Kambali, pemerhati Kota Tua Jakarta mengatakan bahwa di Jakarta terdapat lebih dari 216 bangunan cagar budaya (BCB) yang dilindungi berdasarkan SK Gub. No. 475/1993 yang diantaranya itu hampir 75% kondisinya sangat mengkhawatirkan.[23] Hal ini menjadi bukti bahwa warga Jakarta belum memiliki perhatian dan kepedulian terhadap potensi kotanya sendiri. Ini juga disinyalir sebagai rendahnya kesadaran sejarah dan budaya warga kota metropolitan tersebut.
4. Potensi yang terabaikan
Kini, kawasan Kota Tua Jakarta sedang dibenahi Pemda DKI Jakarta dalam suatu proyek revitalisasi. Namun, berdasarkan pengamatan penulis, sangat disayangkan proyek tersebut baru serius dikerjakan ketika terdapat beberapa bangunan-banguan (tua) cagar budaya telah hancur dan kondisinya sangat memprihatinkan. Jembatan Kota Intan yang dibangun 1628 misalnya, kini diambang roboh karena kondisinya telah rapuh. Ditambah lagi beberapa bangunan lain seperti seperti Museum Bahari yang atapnya roboh pertengahan tahun 2006 lalu; Gedung Cipta Niaga yang dibangun sekitar 1910-an, kini kondisi atapnya telah roboh; gedung Kota Bawah yang semakin hari semakin merana, dan sebagainya yang itu semua teramati secara jelas oleh Peneliti ketika melakukan observasi ke daerah Kota Tua Jakarta.
Gedung-gedung tersebut merupakan saksi sejarah yang seharusnya dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatkan sebagi potensi pariwisata yang bermanfaat ekonomis dan sosial. Namun, sejak pemerintah memfokuskan pembanguan ke kawasan “segitiga emas” Jl. Sudirman, Jl. MH. Thamrin dan Jl. HR. Rasuna Said, kawasan Kota Tua sepertinya dilupakan oleh pemerintah lebih dari 30 tahun sejak Bang Ali menetapkan Kota Tua Jakarta sebagai kawasan cagar budaya yang dilindungi.
Salah satu proyek revitalisasi yang gencar dilakukan dan kini tersendat adalah Proyek Tunel (Tempat Penyeberangan Orang Bawah Tanah –TPO BT) yang menghubungkan Museum Bank Mandiri dengan Stasiun BeOS –Jakarta Kota. Proyek itu sangat kontroversial karena kabarnya tidak melibatkan sejarawan dan arkeolog dalam pelaksanaanya. Kabarnya proyek ini melanggar SK Gub. No.475/1993, dan berdasarkan SK tersebut, proyek ini layak jika disebut sebagai Archeological Crime. Hal ini disebabkan proyek tidak dihentikan ketika banyak ditemukannya artefak-artefak dari dalam tanah pada proyek tersebut.[24]
Proyek yang lain adalah Pembangunan Predestrian (trotoar) Jalan Pintu Besar Utara sepanjang 300 meter. Proyek ini walaupun telah selesai, kabarnya juga kontroversial. Konsep yang di kerjakan oleh arsitek kenamaan Budi Liem, juga mengundang kritik banyak pihak seperti ahli tata ruang kota, Marco Kusumawidjaja.[25]
Kedua proyek di atas, sebenarnya adalah untuk mendukung Revitalisasi Kota Tua yang sudah hampir 30 tahun tersendat. Namun, perlu digarisbawahi, hal yang paling penting adalah bahwa ini tak terlepas dari upaya bagaimana sesungguhnya menumbuhkan penghargaan, kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap kawasan Kota Tua Jakarta.
Pemerintah jujur mengakui, bahwa generasi muda kita saat ini kurang begitu suka berkunjung ke museum atau pun ke Kota Tua Jakarta.[26] Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran sejarah dan budaya masyarakat Jakarta terhadap kotanya. Belajar sejarah merupakan sesuatu yang membosankan, apa lagi berkunjung ke museum yang sama sekali belum menjadi habbit (kebiasaan). Betapa tidak, pilihan diluar museum lebih manjanjikan dan menyenangkan, seperti mall, toserba, bioskop 21, atau tempat-tempat hiburan lain ketimbang museum dan Kota Tua. Selain akses lalulintas yang saban hari macet, keamanan dan kenyamanan pengunjung menjadi taruhan. Upaya ini memang harus menyeluruh dan sinergi berbagai pihak sangat diperlukan.
5. Yang Masih Tersisa
Bagi warga ibukota, Kota Tua Jakarta merupakan tempat yang ‘asing,’ menyulitkan dan sekaligus menakutkan. Kehidupan malam atau siang di kawasan ini dikenal sangat crowded. Bagi yang baru pertama kali ke daerah Kota, disarankan untuk tidak pergi sendirian, apalagi jika seorang perempuan. Tetapi sangat berbeda bagi Komunitas Historia dan para penggemarnya, malam atau siang tetap saja menyenangkan, karena di kawasan ini terdapat banyak sekali bangunan tua dari jaman Belanda yang menjadi tempat belajar sejarah dan jalan-jalan santai yang menantang dan menyenangkan. Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat bebeberapa bangunan (tua) cagar budaya seperti gedung Stasiun BeOS[27] yang dibangun pada 1925; gedong Factorij Nederlandshe Handel Matshappij (NHM) yang dibangun tahun 1929 –kini Museum Bank Mandiri; gedung Stadhuis VOC (1707) –kini Museum Sejarah Jakarta; Pelabuhan Sunda Kalapa (1527); Jembatan Kota Intan (1628); de Javasche Bank (1828) –kini Museum Bank Indonesia; Toko Merah (1730); kawasan glodok sebagai perkampungan orang-orang Cina di Batavia (1740); daerah Pekojan sebagai kampungnya orang Arab di Batavia; Gereja Sion (1695) yang dahulu dikenal sebagai De Nieuwe Portugeesche Buiten Kerk; area bekas Gudang VOC Sisi Barat (Westijzsche Pakhuiszen) yang dibangun 1652 –kini Museum Bahari, dan bangunan bekas Gudang Kayu di belakang Museum Bahari sebagai penunjang galangan kapal di Batavia, serta beberapa bangunan lain yang kondisinya sangat megah dan indah, tetapi mengkhawatirkan.[End]